KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT,atas
segala nikmat,karunia,serta hidayah-Nya yang diberikan kepada kami sehingga
kami mampu menyelesaikan tugas yang diamatkan kepada kami, untuk membuat
makalah tentang “Paragraf” dengan baik.
Makalah ini sebagai salah satu media
pembelajaran yang baik guna menunjang dalam proses pembelajaran siswa. Dalam
makalah ini kami membahas tentang hal-hal yang berkenaan tentang “Latar
Belakang dan faktor timbulnya Ilmu Kalam”.Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Akhirnya kami sampaikan terima kasih
kepada semua
pihak yang telah mendukung dalam pembuatan makalah ini.Do’a dan dukungan yang
mampu memberi kami dorongan semangat dan kekuatan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.Kami menyadari bahwa makalah ini tentunya
jauh dari kesempurnaan yang semestinya,oleh karena itu kami menerima segala
masukan-masukan guna kesempurnaan makalah ini.
Depok, 09/03/2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Kepercayaan sesuatu agama merupakan pokok dasarnya.
Islam sebagai agama yang mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta
agama-agama Berhala merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan
segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya, al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang Wujud Tuhan, Keagungan, dan ke
Esaan-Nya. Qur’an terutama menyebutkan untuk sifat-sifat Tuhan yang banyak
sekali dan sebagian lagi menyatakan macam-macam hubungan dengan makhluknya
seperti mendengar, melihat, Maha adil, menciptakan, memberi rijki,
menghidupkan, mematikan dan sebagainya.
Ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw
dan sahabat-sahabatnya melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah
ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan
alam ghaib atau metafisika.
1.
POKOK MASALAH
A.
Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
B.
Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam /
Ilmu Tauhid
C.
Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan
Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
D.
Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu
Kalam / Ilmu Tauhid
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A. Faktor-Faktor Munculnya Ilmu
Tauhid (Ilmu Kalam)
Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Adalah
aqidah islam karena sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran dan dalil naqli,
menetapkan keyakinan aqidah dan menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang dibawa
oleh junjungan Nabi Muhammad SAW, Bahkan merupakan kelanjutan dari ajaran para
Nabi sebelumnya. Al-Qur’an sebagai kitab suci menggariskan ajaran-ajarannya
diatas jalan yang terang yang belum pernah dilalui oleh kitab suci sebelumnya,
yaitu: jalan yang memungkinkan orang di zaman ia diturunkan dan orang yang
datang kemudian untuk melaluinya.
Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi
menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan faktor dari luar ( extern)
1.
Faktor Intern. Faktor-faktor intern yang
menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga macam, yaitu:
2.
Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada
tiga factor penting, yaitu:
1.
Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri
disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal
yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongan-golongan dan agama, yang
tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan
membatalkan pendapat-pendapatnya.
2.
Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai
menaklukkan negeri-negeri baru , dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah
rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama .
3.
Masalah –masalah politik
1) Sesungguhnya
kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka
memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster,
Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
2) Sesungguhnya golongn
islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan perhatiannya yang
terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang
memusuhi islam.
3) Faktor ketiga ini
merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para
mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi )
musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama,
maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat
logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami ( tokoh
Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa pendapatnya.
4) Perbedaan Metode Ilmu
Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
5) Pengaruh Sosial
Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Apabila memperhatikan masalah
khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat, maka dapat
disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak
mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu.
Tetapi Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum.
Mengenai khilafah Ibnu Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di
Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah despensasi khusus dari Allah dan
menyebutnya khilafah an-nubuwwah. Ia berpendapat bahwa kekholifahan ini juga
memiliki sifat yang sui generic, yang tidak dapat terulang kembali didalam
sejarah karena Nabi telah menyatakan; Kekholifahan ini, hanya bertahan selama
tiga puluh tahun setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian yang
umum.
Memang benar bahwa kholifah-kholifah dari
dinasti-dinasti Umayah, Abbasiyah dan lain-lainnya menamakan diri mereka
sebagai khulafah tetapi kaum muslimin terpaksa menerima hal itu karena mereka
mamiliki kekuatan otoritas yang nyata dan mereka adalah “ Raja-raja kaum
muslimin” dan “ Penguasa-penguasa diatas dunia “.Mereka tidak memerintah
sebagai wakil-wakil Nabi, tetapi hanya tampil sesudah beliau wafat dan
melaksanakan syariah sebagai hukum dasar Negara dengan semua upaya mereka dan
oleh karena secara populer dijuluki sebagai khulafah. Jadi menurut Ibnu
Taimiyah praktek-praktek yang telah dilakukan kaum muslimin di dalam sejarah
tidak dapat di jadikan landasan filsafat politik tidak mau ada kesalahan dengan
membenarkan kekuatan politik yang actual sebagaia otoritas yang dihibahkan oleh
kholifah boneka tersebut. Karena tidak menemukan petunjuk mengenai teori teori
konstitusionsl didalam Al Qur’an, Sunnah atau dalam praktek Khulafaur-Rasyidin,
maka teori klasik mengenai kekhalifahan ditolaknya.
Qur’an sendiri, sebagai kitab utama agama Islam,
menyerukan pemakaian akal pikiran dan memperhatikan alam semesta ini dengan
panca indra, dan mencela keras taqlid (ikut – ikutan), terutama dalam soal-
soal kepercayaan agama. Juga al-Qur’an banyak menyinggung dan membantah
golongan-golongan atheist (dahriyyin), golongan musyrikin, mereka yang tidak
mempercayai keputusan Nabi-nabi.
Karena itu kaum muslimin sendiri harus melepaskan akal
pikirannya untuk menggali isi al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai penjelas dan
juru penerangnya (al-Qur’an). Pada waktu Rasul masih hidup, apabila terdapat
sesuatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, atau diketahui, maka
mereka bisa menanyakannya langsung kepada Rasul.
Setelah Rasul wafat, timbullah persoalan, siapakah
yang berhak memegang khilafat (pimpinan kaum muslimin)sesudahnya? Dengan
berlalunya masa, muncullah apa yang disebut ”peristiwa Ali r.a kontra Usman
r.a. “ yang telah banyak menimbulkan persengketaan dan perdebatan dikalangan
kaum muslimin untuk di ketahui siapa yang benar dan siapa pula yang salah.
Pertama yang di perselisihkan ialah soal “Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan syarat- syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya .Golongan syiah (pengikut Ali r.a) memonopolikan Imamah tersebut kepada Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, sedangkan golongan khawarij dan Mu’tazilah meganggap, bahwa orang yang berhak memangku jabatan Imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia budak belian atau bukan orang Arab (Quraisy). Dalam pada itu, menurut mayoritas kaum muslimin, yang pendapatnya moderat, yang berhak memangku jabatan tersebut ialah orang yang paling cakap dari golongan Quraisy, karena Rasul sendiri mengatakan : “imam-imam terdiri dari orang Quraisy “(bukan imam dalam sholat).
Pertama yang di perselisihkan ialah soal “Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan syarat- syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya .Golongan syiah (pengikut Ali r.a) memonopolikan Imamah tersebut kepada Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, sedangkan golongan khawarij dan Mu’tazilah meganggap, bahwa orang yang berhak memangku jabatan Imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia budak belian atau bukan orang Arab (Quraisy). Dalam pada itu, menurut mayoritas kaum muslimin, yang pendapatnya moderat, yang berhak memangku jabatan tersebut ialah orang yang paling cakap dari golongan Quraisy, karena Rasul sendiri mengatakan : “imam-imam terdiri dari orang Quraisy “(bukan imam dalam sholat).
Setelah terjadi pembunuhan atas diri Usman r.a (th.655
M) timbul perselisihan yang lain, yaitu sekitar prsoalan dosa besar, apa
hakekatnya dan bagaimana hukum orang yang mengerjakannya. Apa yang di maksudkan
dengan dosa besar mula-mula ialah pembunuhan tersebut. Kelanjutannya sudah
barang tentu ialah perselisihan tentang iman, apa pengertian dan bagaimana
batasanya, serta pertaliannya dengan perbuatan lahir. Perselisihan ini telah
menimbulkan golongan- golongan Khawarij, Murjiah dan kemudian lagi golongan
Mu’tazilah,
Dengan demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudah bercorak agama yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan yang penting dalam Tauhid Islam, sebagaimana halnya dengan urusan khalifah dan Imamah, sedangkan soal-soal ini sebenarnya lebih tepat kalau di masukkan kedalam ilmu fiqih karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.
Dengan demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudah bercorak agama yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan yang penting dalam Tauhid Islam, sebagaimana halnya dengan urusan khalifah dan Imamah, sedangkan soal-soal ini sebenarnya lebih tepat kalau di masukkan kedalam ilmu fiqih karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.
Akan tetapi karena pendapat beberapa golongan Islam
dalam soal-soal tersebut hampir membawa mereka keluar dari dasar-dasar agama
Islam, maka Ulama–ulama Tauhid Islam memasukan soal-soal tersebut kedalam
pembahasan Ilmu Tauhid agar bisa di bahas dengan sebaik-baiknya, lepas dari
rasa fanatik dan penguasaan hawa nafsu dan agar bisa jelas antara yang benar
dan yang salah, untuk menjaga kemurnian agama.
Dalam daerah-daerah yang di datangi oleh kaum
Muslimin, terutama di Irak, pada pertengahan abad hijriah, terdapat
bermacam-macam agama dan peradaban, yaitu peradaban Persia dan India yang
dibawa oleh orang-orang persi dan India yang masuk islam; peradaban Yunani yang
dibawa oleh orang-orang Suriani dan oleh buku-buku Yunani yang telah
diterjemahkan kedalam bahasa Arab, peradaban yang dibawa oleh orang-orang
Masehi yang telah memfilsafatkan agamanya dan memakai filsafat Yunani sebagai
alat untuk memperkuat kepercayaan mereka. Sebagai akibat pertemuan agama islam
dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian kaum muslimin mulai
mencetuskan fikiran-fikiran yang bercorak filsafat dalam soal-soal agama yang
tidak dikenal sebelumnya, serta mereka mulai memberikan pembuktian
pembenarannya dengan alasan-alasan logika.
Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa lahirnya
ilmu kalam disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai hukum, masihkah
seorang muslim sebagai muslim setelah melakukan dosa besar? Ataukah menjadi
kafir?.
Mengenai hal tersebut golongan khowarij menegaskan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak lagi sebagai muslim. Sebagai reaksi terhadap pandangan kaum khawarij yang keras itu timbullah kaum murji’ah. Menurut mereka orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan Tuhan di hari perhitungan kelak. Sehubungan dengan masalah orang yang berbuat dosa besar sebagai diperdebatkan oleh kaum murji’ah dan khawarij diatas, timbul pula kaum mu’tazilah, sebagai aliran ketiga dalam ilmu kalam. Bagi mereka orang islam yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Selain masalah orang islam yang berdosa besar sebagaimana disebutkan di atas, muncul pula masalah takdir Tuhan. Menurut paham kodariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut paham jabariyah bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal, dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan kudroh.
Mengenai hal tersebut golongan khowarij menegaskan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak lagi sebagai muslim. Sebagai reaksi terhadap pandangan kaum khawarij yang keras itu timbullah kaum murji’ah. Menurut mereka orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan Tuhan di hari perhitungan kelak. Sehubungan dengan masalah orang yang berbuat dosa besar sebagai diperdebatkan oleh kaum murji’ah dan khawarij diatas, timbul pula kaum mu’tazilah, sebagai aliran ketiga dalam ilmu kalam. Bagi mereka orang islam yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Selain masalah orang islam yang berdosa besar sebagaimana disebutkan di atas, muncul pula masalah takdir Tuhan. Menurut paham kodariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut paham jabariyah bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal, dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan kudroh.
BAB III
PENUTUP
1.
A. Kesimpulan
Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau
paham khowarij, murji’ah dan muktajilah dalam menyikapi masalah seperti yang
terjadi diatas. Akhirnya para Ulama ahli kalam (tauhid) merasa khawatir
golongan-golongan tersebut didalam menentukan hukum dan menyikapi
masalah-masalah yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh
al-qur’an dan hadits, terutama yang berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan
umat islam.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw.
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw.
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan.
Qur’an menjadi saksi bagi segala amal perbuatan
manusia dan menjadi hakim yang menghukum benar atau salahnya masing-masing
orang dalam amalnya.
1.
B. Penutup
Sebagai mahasiswa theology ideal dan
seyogyanya, dengan adanya karya yang sangat memberi andil besar dalam kajian
akidah (tauhid) khususnya, yaitu “ilmu kalam (tauhid)” dapat memberi jalan,
sehingga tidak ada lagi alasan untuk hanya ikut-ikutan (taqlid) dalam
bertauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang sangat penting dalam membangun keimanan
yang sejati, Ilmu tauhid adalah merupakan tiang yang amat kokoh dari segala
ilmu, menurut Syekh Muhammad Abduh.
Tujuan terakhir dari ilmu ini, ialah
menegakkan suatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Allah yang
Maha Esa, Maha tinggi dengan segala sifat-sifat yang wajib melekat pada
diri-Nya, serta menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya.
Membenarkan para Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa,
dengan jalan berpegang teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada
taqlid buta, sesuai yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul kepada
kita. Ia menganjurkan kepada kita untuk melakukan penyelidikan dengan
mempergunakan akal, kepada benda-benda alam yang terdapat di sekitar kita,
menembus rahasia-rahasia alam itu sekedar yang dapat dicapai, sehingga timbul
keyakinan terhadap apa-apa yang telah dianjurkan kita menyelidiki nya.
Demikian penulisan makalah yang dapat
kami sajikan dan kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
perbaikan dan pengembangan. Dan semoga ada manfaatnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi A, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al Husna
Zikra, 1995), cet.6
Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1993)
Abduh Syekh Muhammad, Risalah Ilmu Tauhid, (Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1992)
Penyusun